Senin, 06 Februari 2017

SEJARAH KI AGENG SETRO BANYU



SEJARAH  KI AGENG SETRO BANYU
DUSUN BATANG DESA TARUMAN KECAMATAN KLAMBU
KABUPATEN GROBOGAN

Disusun Oleh Prayitno Slamet (Pengajar Sejarah SMA N 1 Godong)
Nara Sumber : 1. Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon
                        2. Ustad Zainuddin, dkk

    A. Sejarah Sebelum Tahun 2016 (November 2016)
Di Dusun Batang Desa Taruman terdapat dua buah makam yang diberinama dengan Makam “Mbah Tunggon”. Sesuai dengan namanya istilah “Tunggon” merupakan istilah dari bahasa Jawa yang dalam Kamus Basa Jawa berarti “papan padunungan..... “ (tempat pihak yang menjadi penunggu) yaitu dusun Batang desa Taruman. Pada saat itu masyarakat hanya memiliki keyakinan bahwa Mbah Tunggon sebagai pendahulu / cikal bakal desa yang wajib dihormati dan dilestarikan makamnya. Pada saat tertentu diadakan selamatan di makam Mbah Tunggon sebagai rasa hormat terhadap pendahulu dan sekaligus penunggu desa Taruman dusun Batang.
Pada saat itu dari kedua makam Mbah Tunggon itu diyakini sebagai makam kakak beradik. Masyarakat belum mengetahui siapa nama dari kedua makam kakak beradik itu. Keduanya  mereka sebut dengan Mbah Tunggon.
Akhirnya kedua makam itu teridentifikasi, yang sebelah barat makam Mbah Digdodjo (Digdoyo) dan sebelah timur makam Mbah Maladi (red. Malati). Dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) kata malati artinya “yen dicamah njalari kacilakan” (jika diremehkan menjadikan celaka). Sedang Digdodjo (Digdoyo) artinya “sekti, menangan, ampuh” (sakti).
Pada waktu itu (1985), juga dibangun cungkup (rumah orang meninggal di pemakaman). Nisan / patok diganti dengan “ Batu Kijing” lengkap dengan nama, yang sebelah barat “Mbah Digdodjo”, dan sebelah timur “Mbah Maladi”. Pada tahun 2012 cungkup dari kayu direnovasi dengan bangunan permanen dari Cor.
Mbah Maladi sebagai kakak dan Mbah Digdodjo sebagai adiknya. Konon kedua tokoh tersebut bertugas sebagai pengatur jalannya air untuk pertanian maupun air minum di desa Taruman khususnya dusun Batang. Dalam pembagain air tersebut selain untuk desa Taruman juga untuk desa Selojari (sebelah timur Batang Taruman).
Pada suatu saat ketika mereka saling membutuhkan air untuk mengairi sawah, menurut pendapat dari H. Busono (Agus), S.Pd.,  diprediksi mereka saling berebut mengalirkan air dari sendang yang ada di dusun Batang itu. Untuk mengalirkan air butuh suatu saluran air (sungai) agar bisa sampai di persawahan yang mereka inginkan. Terjadilah pertentangan diantara mereka. Mbah Digdodjo membangun saluran air untuk dialirkan ke selatan dengan mengambil air dari Tuk Tengah. Beliau membelah bebatuan yang ada di dekat tuk untuk dapat menjadi saluran air. Sedangkan Mbah Maladi berpendapat agar memanfaatkan saluran air yang sudah ada yang mengalir ke arah timur. Karena Mbah Digdodjo tidak mau menerima pendapat Mbah Maladi yang merasa lebih tua dan tetap membangun saluran air yang baru. Perkelahian diantara mereka tidak dapat dihindari.
Mbah Digdodjo  demi rakyat – warganya terpaksa berani melawan  Mbah Maladi sebagai kakak. Mbah Digdodjo berkelahi melawan Mbah Maladi hingga mengakibatkan tewasnya Mbah Maladi. Keadaan tewasnya Mbah Maladi menjadikan Mbah Digdodjo merenung meratapi nasib dan peristiwa yang terjadi. Perasaan bersalah yang berlebihan dan merasa berdosa menjadikan Mbah Digdodjo tidak berpikir panjang, lalu menghabisi nyawa dengan tangannya sendiri.
Peristiwa ini menjadi nasehat bagi masyarakat Batang untuk dapat mengambil makna bahwa saling mempertahankan ide dan keras kepala tidak menyelesaikan masaalah, akan tetapi menambah masalah baru. Selain itu membawa dampak  hubungan yang tidak baik bagi warga Selojari dan Batang. Sampai sekarang Orang Selojari tidak boleh menjalin hubungan tali pernikahan  dengan orang Batang, begitu pula sebaliknya.
Hal ini ditanggapi oleh Habib M. Ashari Adzomat Khon pada November 2016, bahwa....”Pada zaman  Syekh Husni dulu sebetulnya hubungan antara masyarakat Batang dengan Selojari sangat intim, baik pertanian, keagamaan dan lain – lain “.
            Pada masa penjajahan Belanda di Indonesia, Belanda merasa kawatair kalah, karena Syekh Husni itu ulama besar. Belanda merasa kalau umat Syekh Husni dai Batang dan Selojari bersatu, maka akan dapat mengusir Belanda. Akhirnya Belanda mengatur strategi agar orang Batang dan Selojari tidak boleh ada hubungan pernikahan. Sesungguhnya secara syari’at agama Islam pernikahan antara warga Batang dengan Selojari tidak apa – apa. Trik Belanda yang sebenarnya untuk memecah belah warga Selojari dengan Batang ternyata masih diyakini sampai sekarang.

    B.   Sejarah Setelah Tahun 2016 (November 2016)
Siapakah sebenarnya Mbah Digdojo dan Mbah Maladi itu ?. Para ulama Dusun Batang mulai bertanya – tanya tentang identifikasi  kedua tokoh tersebut. Mereka mulai melakukan penelusuran.
Pada mulanya Haul Mbah Digdojo  dan Mbah Maladi diadakan setiap tanggal 1 Muharam. Pada tahun 2000 haul ini sempat menjadi pembahasan, tentang “nasab” dan perjuangan Mbah Dogdojo dan Mbah Maladi oleh sebagian warga masyarakat Batang. Kemudian hal tersebut menjadikan bimbang dan ragu dengan keadaan yang sebenarnya. Siapakah Mbah Digdojo dan Siapakah Mbah Maladi itu ?
Pada tanggal 7 Agustus 2016 sebagian tokoh masyarakat dusun Batang yaitu Kepala Dusun (Kadus) Sriyanto (Ali Musyafa’), Ustad M. Zainuddin, Ustad Masyrukin, Sarmin, Muhammad Anoq Safi’i, dan kawan – kawan, mencari tahu tentang kebenaran tokoh pendahulu desa tersebut.  Mereka melalui Ustad Imam Baidhowi dari Desa Kramat Penawangan untuk diajak sowan kepada Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon di Desa Karangwuni Kecamatan Weru Sukoharjo.
Pada saat itu Habib M. Ashari berkata, Bahwa wafatnya Mbah Digdojo (Syekh   Husni) adalah tanggal 11 Muharam  bukan tanggal 1 Muharam, maka mulai tahun 2016 Haul Mbah Digdojo (Syekh Husni) diadakan setiap tanggal 11 Muharam.
Pada hari  Jum’at Pahing tanggal 23 Desember 2016, Batu Kijing diganti dengan Patok Kayu, dan diberi nama Syekh Husni makam yang barat, dan Nyai Dewi Murbingah makam timur.
Dari hasil pengamatan Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon tersebut terbukalah  sejarah tentang makam Mbah Digdodjo dan Mbah Maladi. Kedua makam itu ternyata bukan makam kakak beradik, akan tetapi makam suami istri. Mereka itu adalah Syekh Muhammad Husni, yang bergelar Haryo Bayu Permono Tani. Nama lain beliau adalah Ki Ageng Setro Banyu. Ayahandanya bernama Haryo Bekti Ponco Tani. Makamnya ada di sebelah barat (semula Mbah Digdodjo). Sedangkan makam yang di sebelah timur adalah makam istri dari Ki Ageng Setro Banyu yang bernama Dewi Murbingah (semula Mbah Maladi). Beliau merupakan keturunan dari Brawijaya V / Bhre Kerta Bhumi dari kerajaan Majapahit.
Haryo Bekti Ponco Tani sebagai pengasuh Raden Patah dimasa kecilnya. Pada saat Raden Patah menjadi raja di kerajaan Demak sekitar tahun 1500-an bergelar “Sultan Alam Akbar Al Fattah”, Syekh Muhammad Husni diberi tugas untuk mencari sumber air dan mengatur pengairan untuk pertanian. Sambil mengatur jalannya pengairan beliau juga melaksanakan siar Islam di wilayah di mana beliau berada. Dari tugas beliau sebagai pengurus pengairan untuk pertanian di sawah maka diberi gelar dengan “Haryo Bayu Permono Tani” . Dan tugasnya sebagai penguasa dan pengatur jalannya air di sumber air ( dari tuk / sendang), maka juga diberi gelar “Ki Ageng Setro Banyu”. Diceritakan, beliau sebagai seorang yang sangat murah hati kepada semua rakyatnya dalam pencarian / pengadaan air untuk pertanian maupun kepentingan rumah tangga. Bagi yang membutuhkan air dikabulkan dengan syarat yang sangat mudah. Mereka diminta “sesuci” (mandi taubat) dengan membaca “Japa Mantra yang ampuh”, yaitu membaca dua Kalimat Syahadat tiga kali.
Tanpa disadari oleh mereka, ternyata mereka yang mandi taubat secara otomatis sudah masuk Islam. Inilah salah satu cara dari belau dalam menjalankan siar agama Islam. Warga tidak merasa terbebani karena mereka mendapatkan air dengan mudah hanya mengucap Syahadat saja.
Ki Ageng Setro Banyu juga mendapat tugas sebagai Telik Sandi (intelegen). Beliau bertugas sebagai intelgen untuk mengawasi jalannya lalulintas transportasi aliran sungai Serang. Kala itu sungai serang menjadi sarana transportasi air untuk menuju ke pedalaman dari kerajaan Demak. Para pedagang asing (Portugis, China) dimungkinkan sudah sampai di wilayah Sragen, Boyolali dengan melalui sungai serang. Karena tugas beliau ini, maka diberi diberi gelar dengan “Adi Pati Telik Sandi”.
Terjadinya konflik politik di kerajaan Demak, yaitu perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Trenggono dengan Arya Penangsang, maka Syekh Muhammad Husni, meninggalkan keramaian di kerajan Demak menuju ke dusun Batang desa Taruman. Beliau mulai menetap di Batang Taruman ini pada bulan Shafar, hari Ahad wage. Secara kebetulan menemukan mata air pada hari Ahad Wage, dan lahirnya beliau juga hari Ahad Wage.

      C.   Sejarah Perjuangan Demang Haryo Bekti Ponco Matani.
Lebih lanjut dituturkan oleh Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon, sebagai berikut :
1.    Keberadaan Masa Akhir Kerajaan Majapahit
Mungkin tidak banyak yang mengenal wali ini, wali yang laur biasa hebat. Wali yang sempat dijadikan sebagai target pembunuhan tentara Portugis. Wali yang menjadi penyangga utama hasil bumi kerajaan Demak. Wali yang setiap kehadirannya paling ditunggu oleh seluruh lapisan masyarakat Jawa, tanpa terkecuali. Beliau adalah Adipati Haryo Bayu Permono Tani, yang dalam pergerakan Wali Songo disebut sebagai Syekh Husni. Ketika diusia 40 th bergelar Ki Ageng Setro Banyu. Makam beliau ada di dusun Batang desa Taruman kec. Kl;ambu Kab. Grobogan.
Sejak usia dini Raden Patah sebagai putra dalem Gusti Brawijaya V raja Majapahit, tentu hidup dalam pengawasan yang ketat. Apalagi pada pertengahan abad ke-14 M, situasi di wilayah kerajaan Majapahit sudah terjadi banyak kekisruhan. Beberapa tokoh penting yang terbilang memiliki pengaruh di Jawa, tiba – tiba mengadakan gerakan yang intinya ingin menggulingkan kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit masih kuat, karena masih memiliki ratusan ribu prajurit yang setia kepada sang raja. Walaupun demikian, tetap saja keselamatan keluarga raja adalah hal yang paling penting di mata prajuritnya. Demikian pula keselamatan Raden patah. Beliau putra Dewi Chempo (Putri Nduworo Wati), yang dinikahi oleh Brawijaya V. Ini menjadi tonggak keislaman sang Raja pada masa hidupnya.
Brawijaya V (Bhre Kertha Bhumi atau Sri Kertha Bhumi). Beliau memiliki beberapa pengikut setia yang menjadi garda terdepan untuk keselamatannya (sejenis PASPAMPRES). Petugas ini siap menjadi tumbal keselamatan pemimpin (raja), dengan ikrar “Lebih Baik Mati Asal Rajanya Tetap Hidup”.
Kesetiaan dan pengabdian tertinggi dilakukan oleh Demang Haryo Bakti Ponco Matani yang mendapat tugas dari Sang Brawijaya V untuk menjaga keselamatan Raden Patah dan Dewi Champa. Tugas menjaga keselamatan  dan mengawal ini beliau emban sejak Raden Patah masih kecil sampai dewasa. Pengawalan utama ini beliau laksanakan hingga munculnya serangan terhadap Majapahit dari Girindrawardhana di kediri, ditandai dengan candra sengkala “Sirna Ilang Kerthaning Bhumi”. Candra sengkala ini diambil dari tahun Saka, yang artinya yaitu Sirna : 0, Ilang : 0, Kertha : 4, dan Bhumi : 1. Membacanya dengan cara dibalik menjadi 1400 saka, jika dijadikan tahun Masehi menjadi 1478 M.
Dengan serangan ini runtuhlah benteng kekuatan kerajaan Majapahit. Di berbagai wilayah kerajaan bawahan Majapahit masih terjadi perang hebat, yang saling  berebut kekuasaan untuk menjadi pemimpin  wilayah.
Pada masa itu raja dan keluarganya diungsikan ke luar dari istana. Para pengacau Majapahit bertekad akan menghabisi Sang raja beserta keluarganya. Peristiwa ini sering disebut dengan  “ Babat Purno Tunggak “ (Habis semua keluarga raja tanpa terkecuali).

2.    Perjuangan Demang Haryo Bekti Ponco Matani dan Keluarganya.
Demang Haryo Bekti Ponco Matani harus semakin ekstra mengawal Raden Patah. Suatu ketika gerakan aksi pembunuhan putra raja terus dilakukan, dan berusaha mencari dimana keberadaan putra raja tinggal. Musuh mempersiapkan strategi untuk mencari dan membunuh putra raja. Dibangun beberapa perkampungan yang sekilas ditengarai setia kepada Prabu Brawijaya V padahal hanya suatu jebakan.
Pada suatu hari Demang Haryo Bekti Poncomatani memasuki salah satu perkampungan tersebut. Sebelum memasuki wilayah  tersebut sang Demang dengan tampilan yang meyakinkan justru berdandan menyamar seperti Prabu Brawijaya V. Raden Patah berpenampilan sebagai rakyat jelata.
Ketika memasuki salah satu perkampungan yang dijadikan jebakan oleh musuh, sang Demang  tidak mengira sama sekali jika kampung itu adalah kampung musuh. Perkampungan itu disetting seperti perkampungan yang dihuni oleh sebagian besar rakyat miskin. Mereka tampil lugu dan pura – pura tidak tahu soal kerajaan. Mereka terlihat sebagai penganut ajaran “Kapitayan” (Kepercayaan) yang setia. Walaupun demikian Ki Demang  tetap waspada. Hingga suatu malam beliau memiliki firasat tidak baik. Dengan menggenggam tongkat  yang selalu ada di tangannya, beliau keluar rumah secara mengendap –ngendap. Ternyata para pimpinan pengkianat negara sedang bertemu untuk menyusun strategi pembunuhan terhadap Ki Demang yang dianggap sebagai Brawijaya V.  Ketika itu juga prajurit musuh sudah mengepung perkampungan itu dengan senjata lengkap.
Demang Haryo Bekti Poncomatani  segera mengambil tindakan / strategi bersama pasukannya. Pasukan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama tetap bersamanya tidur di kamar. Bagian kedua mengacau, membuka salah satu akses pengepungan untuk mengecohkan musuh, agar Raden Patah bisa selamat dari kepungan dan kejaran musuh. Bagian ketiga ikut mendampingi sekaligus mengawal Raden Patah keluar dari mala petaka.
Karena saat itu Raden Patah telah mendapat mandat dari Wali Songo untuk menduduki kerajaan Demak. Jabatan ini telah dipersiapkan Wali songo dan para kaum muslim di Jawa.
Pasukan bagian kedua telah berhasil mengecoh prajurit musuh yang bertugas menjaga akses keluar kampung. Akhirnya Raden Patah berhasil keluar dari perkampungan didampingi pasukan bagian ketiga.
Demang Haryo Bekti Poncomatani sengaja tetap tinggal di dalam rumah bersama pasukan bagian pertama. Hal ini dilakukan, dengan pertimbangan,  jika akhirnya beliau ikut berlari keluar kampung tentu akan terjadi pengejaran. Hal ini akan memperumit keselamatan calon raja Demak (Raden Patah).
Rumah yang dijadikan peristirahatan Ki Demang (yang menyamar sebagai Brawijaya V) dikepung pasukan musuh. Perang dahsat tidak terelakkan. Pasukan bagian kedua kembali merapat ke rumah peristirahatan Ki Demang dengan niat ikut perang melawan musuh. Demi keselamatan para prajurit, Ki Demang menghentikan perlawanan. Ki Demang meminta kepada musuh agar prajurit lainnya jangan dibunuh. Kondisi kekuatan musuh sebenarnya kuwalahan menghadapi pasukan Ki Demang, mereka sudah ada yang terbunuh, sedangkan pasukan Ki Demang masih utuh. Pertimbangan lain diantara pasukan Ki Demang terdapat prajurit  yang usianya baru remaja belasan tahun.
Mendengar ucapan sosok Brawijaya V ini ditanggapi baik oleh musuh, memang kesaktian beliau terkenal luar biasa. Mereka tidak mengira yang dikepung itu sebenarnya bukan Brawijaya V asli, tetapi pasukannya (Ki Demang).  Terjadi perundingan antara Ki Demang yang menyamar Brawijaya V dengan salah satu tokoh dari musuh. Sosok Brawijaya V siap menyerahkan diri dan pasukannya tidak nboleh dibunuh. Pihak musuh menerima tawaran dari sosok Brawijaya V, dengan dua syarat : Pertama Sosok Brawijaya V harus melepaskan kesaktiannya agar bisa dipenggal kepalanya. Yang kedua pasukannya harus melihat pemenggalan tersebut. Jika disepakai, pasukannya diberi kebebasan hidup.
Musuh menyangka jika seorang raja mati maka akan tamatlah seluruh kekuatannya.  Ki Demang menerima tawaran musuh, dan meminta pemenggalan dilakukan sebelum matahari terbit.
Tibalah waktu fajar sebelum diekskusi Ki Demang yang disangka Brawijaya V meminta waktu bersama pasukannya mengadakan ritual. Dengan berat hati dan penuh pertimbangan, pimpinan pasukan musuh akhirnya mengijinkannya. Ritual yang dimaksud adalah Sholat Subuh. Setelah sholat subuh selesai satu persatu passukannya memeluk Ki Demang, begitu pula seorang pasukan yang usianya belasan tahun. Dia hampir tidak mau melepaskan pelukannya terhadap Ki Demang. Dia itu adalah putra Ki Demang sendiri yang bernama Haryo Bayu Permono Tani. Air matanya berlinang setelah Ki Demang Haryo Bekti Poncomatani membisikkan kata- kata di telinganya dan berwasiat : “ Le....., anakku Permono Tani,...... hidup pasti mati, kematian ini adalah kodrat. Lepaskan lepaskan bapak. Bapak meninggal demi negerimu, demi rajamu, demi pemimpin Islam yang akan menyatukan seluruh rakyat Jawa. Lepas Le........ Ini tongkat dari bapak nanti dibawa. Temui ibumu  di istana Demak Bintoro. Sampaikan padanya Bapak menunggu dia di surga “. Permono Tani masih belum mau melepaskan pelukannya, lebih lanjut Ki Demang berkata : “ Le anakku.... lepas le...., sikapmu membahayakan dirimu dan pasukan lainnya. Beridirlah dengan gagah. Sesungguhnya yang membunuh bapakmu bukan musuh, tapi Allah. Allah menghendaki bapakmu bertemu dengan-Nya. Ojo nangis Le.... Jadilah ksatria yang tangguh. Jadilah anak siap hidup demi kebenaran. Dan siap mati karena kebenaran. Bapak tunggu kamu dan ibumu di surga. Ingat itu Le.... Permonotani dengan berat hati akhirnya melepaskan pelukanya.
Dengan posisi tubuh bersujud menghadap kiblat Ki Demang bersiap diri di hadapan ekskusi. Algojo menebaskan pedagnya persis di leher beliau. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu Akbar...... begitu teriakan para pasukan di saat ekskusi terhadap Ki Demang. Permonotani tubuhnya gemetar, seakan tidak rela melihat kematian ayahandanya. Hatinya menjerit dan terluka. Haryo Bayu Permonotani tetap tangguh. Dia tetap bersabar di jalan Allah.

     D.   Sejarah Perjuangan Ki Ageng Setro Banyu (Haryo Bayu Permono Tani)
1.    Haryo Bayu Permono Tani Sebagai Adipati Taruno Mudo
Beliau putra tunggal dari Demang Haryo Bekti Poncomatani. Anak yang baru berusia belasan tahun ini, dengan sangat terpaksa harus melihat kepala ayahnya dipancung oleh penjagal. Tubuh ayahnya roboh tanpa kepala.
Dia tidak boleh menyerah. Sebagaimana wasiat ayahnya sebelum menemui ajalnya. Sang Bayu Permono Tani diutus agar meneruskan perjuangannya. Dengan segenap jiwa raganya, ia diperintah untuk mengabdi pada negara. Negara kerajaan Demak Bintara berdaulat pada Raden Patah sebagai Maha Rajanya.
Setelah aksi pemancungan usai, sesuai kesepakatan, mereka menuju kerajaan Demak Bintoro untuk menemui Sang Raja. Sesampainya di pelataran pintu gerbang kerajaan Demak, dengan tertatih-tatih Bayu Permono Tani berusaha untuk tetap tegar, berjiwa ksatria. Dia menemui Raden Patah. Mereka bertemu dengan Raden Patah di ruang Pasamuhan Agung. Sebelum meminta informasi dari Bayu Permono Tani, Raden Patah memanggil  ibunya Bayu Permono untuk hadir di ruang Pasamuhan Agung.
Pada saat ibunya duduk di Pasamuhan Agung, sang raja bertanya  kepada Bayu Permono Tani  tentang keberadaan sang ayah yaitu Demang Haryo Bekti Ponco Matani. Sebelum menjawab, Sang Bayu dengan langkah timpuh menyerahkan dua benda yang dibawanya kepada Raden Patah. Benda yang pertama adalah tongkat peninggalan mendiang ayahnya. Benda yang kedua berupa benda yang dibungkus dengan baju terakhir mendiang sang ayah. Ketika dibuka  Sang Raja, isi bungkusan itu adalah kepala ayahnya sendiri yang dipenggal pada saat ekskusi.
Sontak ibunya Bayu teriak histeris..kemudian tidak sadarkan diri dan digotong oleh para pambayun ke ruang peristirahatan.
      Sang raja meneteskan air mata, dan semua yang berada di dalam ruang Pasamuhan merasakan duku cita yang mendalam. Raden Patah bertanya, wasiat terakhir apakah yang disampaikan ayahnya kepada sang Bayu. Dengan tegar dia menjawab ; pertama, Ayahnya memberikan amanat kepadanya agar dia mengabdi kepada Sang Raja Sultan Demak Bintara. Pada saat itu juga Raden Patah mengangkat Haryo Bayu Permono Tani sebagai Adipati  termuda dalam sepanjang sejarah kerajaan kerajaan Demak Bintara. Gelar yang diberikan sang raja adalah “Adipati Taruno Mudo”. Pada saat itu Sang Bayu baru berusia 18 tahun.


2.    Haryo Bayu Permono Tani Kehilangan Ibundanya
Raden Patah lalu menanyakan tentang Wasiat yang kedua, Bayu Permono berkata, bahwa wasiat yang kedua bukan untuk sang raja, akan tetapi untuk ibunya. Raden patah menyuruh punggawa untuk melihat kondisi ibunya Bayu. Dia masih tidak sadarkan diri. Akhirnya Bayu menghaturkan wasiat yang kedua kepada sang Raja, sebelum ayahnya dipancung, ayahnya menitip pesan untuk disampaikan kepada sang ibu, bahwa ayahnya menunggu ibunya di surga.
Pecahlah tangis Bayu Permono Tani. Tiba – tiba salah satu pambayun menghadap sang raja. Dia melaporkan bahwa Nyi Ageng Demang Haryo Ponco Matani (ibunda Bayu) sudah pulang ke Rofiqil’Ala. Ibunya terkena serangan jantung dan meninggal dunia, karena mendengar dan melihat keberadaan suaminya yang wafat dengan dipenggal kepalanya oleh musuh.
Lengkaplah sudah kesedian Bayu. Setelah melihat peristiwa tragis pemenggalan kepala sang ayah, saat itu pula harus kehilangan ibunda tercintanya.

Sabtu, 03 September 2016



 TARI SESAMBET

 Ide Cerita dan Jalan Cerita : Prayitno Slamet (SMA N 1Godong)
  Koreografer : Yayuk Yudhiastuti (SMA N 1Godong)

JALAN CERITA TARI SESAMBET
Dikisahkan sembilan orang pendekar wanita dari wilayah Serang Barat dengan semangat melawan arogansi para Gubernur Jenderal Belanda dalam memungut cukai kepada rakyat pada abad ke-18.
            Gubernur Jenderal Belanda memberlakukan praktek pemerasan dan penindasan kepada rakyat Indonesia khususnya di wilayah Serang Barat / bagian barat sungai serang (Sungai Serang ke barat sampai daerah Mranggen kab. Demak). Atas perlakuan Belanda tersebut Seorang wanita bernama Kartika Rana Dewi membentuk laskar yang terdiri 9 orang wanita untuk melawan penindasan Belanda tersebut. Kesembilan laskar wanita dibawah pimpinan Kartika Rana Dewi memiliki kesaktian yang dikenal dengan “Ilmu Sesambet”. Dengan sarana Daun Talas yang dipakai untuk menutupi kepala, mereka dapat menghindari dan mengelabuhi serangan pasukan Belanda.Atas Ilmu yang diciptakan Kartika Rana Dewi disebut juga dengan Nyi Ageng Sesambet.
            Dengan kesaktian yang mereka miliki menjadikan Belanda geram untuk menghabisi laskar Bala Sesambet ( 9 laskar wanita yang berilmu Sesambet ) tersebut. Belanda mengerahkan pasukan dengan senjata lengkap dan berhasil mengetahui kelemahan Bala Sesambet. Akhirnya delapan orang tewas di tempat karena diberondong senapan Belanda. Akan tetapi Kartika Rana Dewi tetap bertahan. Beliau berkata kepada Gubernur Jenderal Belanda “ Saya akan bisa mati jika Belanda tidak lagi menindas rakyat, tidak memungut cukai di wilayah Barat Sungai Serang”. Seketika itu Gubernur Jenderal Belanda itu terharu dan kemudian melepas Baju Seragamnya dan memerintahkan pasukan Belanda untuk tidak memungut cukai dari rakyat di barat sungai Serang. Pada saat  itu Kartika Rana Dewi mengatakan kepada keluarga dan warga serang kilen, bahwa tugasnya telah selesai dan meminta  ijin dirinya pergi meninggalkan mereka semua. Seketika itu beliau meninggal dunia. Makam beliau diprediksi berada di desa Kramat, Kecamatan Penawangan Kabupaten Grobogan Jawa Tengah.

SINOPSIS TARI SESAMBET

Dikisahkan sembilan orang pendekar wanita dari wilayah Serang Barat yang dikenal dengan “BALA SESAMBET”dengan semangat melawan arogansi Gubernur Jenderal Belanda dalam memingut cukai di wilayah serang Barat  pada abad ke-18.