SEJARAH
KI AGENG SETRO BANYU
DUSUN BATANG DESA TARUMAN KECAMATAN
KLAMBU
KABUPATEN GROBOGAN
Disusun Oleh Prayitno Slamet (Pengajar Sejarah SMA N 1 Godong)
Nara Sumber : 1. Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon
2. Ustad Zainuddin, dkk
A. Sejarah
Sebelum Tahun 2016 (November 2016)
Di Dusun Batang Desa Taruman terdapat dua buah makam yang
diberinama dengan Makam “Mbah Tunggon”. Sesuai dengan namanya istilah “Tunggon”
merupakan istilah dari bahasa Jawa yang dalam Kamus Basa Jawa berarti “papan
padunungan..... “ (tempat pihak yang menjadi penunggu) yaitu dusun Batang desa
Taruman. Pada saat itu masyarakat hanya memiliki keyakinan bahwa Mbah Tunggon
sebagai pendahulu / cikal bakal desa yang wajib dihormati dan dilestarikan
makamnya. Pada saat tertentu diadakan selamatan di makam Mbah Tunggon sebagai
rasa hormat terhadap pendahulu dan sekaligus penunggu desa Taruman dusun
Batang.
Pada saat itu dari kedua makam Mbah Tunggon itu diyakini
sebagai makam kakak beradik. Masyarakat belum mengetahui siapa nama dari kedua
makam kakak beradik itu. Keduanya mereka
sebut dengan Mbah Tunggon.
Akhirnya kedua makam itu teridentifikasi, yang sebelah
barat makam Mbah Digdodjo (Digdoyo) dan sebelah timur makam Mbah Maladi (red.
Malati). Dalam Kamus Basa Jawa (Bausastra Jawa) kata malati artinya “yen
dicamah njalari kacilakan” (jika diremehkan menjadikan celaka). Sedang Digdodjo
(Digdoyo) artinya “sekti, menangan, ampuh” (sakti).
Pada waktu itu (1985), juga dibangun cungkup (rumah orang
meninggal di pemakaman). Nisan / patok diganti dengan “ Batu Kijing” lengkap
dengan nama, yang sebelah barat “Mbah Digdodjo”, dan sebelah timur “Mbah
Maladi”. Pada tahun 2012 cungkup dari kayu direnovasi dengan bangunan permanen
dari Cor.
Mbah Maladi sebagai kakak dan Mbah Digdodjo sebagai adiknya.
Konon kedua tokoh tersebut bertugas sebagai pengatur jalannya air untuk
pertanian maupun air minum di desa Taruman khususnya dusun Batang. Dalam pembagain
air tersebut selain untuk desa Taruman juga untuk desa Selojari (sebelah timur
Batang Taruman).
Pada suatu saat ketika mereka saling membutuhkan air
untuk mengairi sawah, menurut pendapat dari H. Busono (Agus), S.Pd., diprediksi mereka saling berebut mengalirkan
air dari sendang yang ada di dusun Batang itu. Untuk mengalirkan air butuh
suatu saluran air (sungai) agar bisa sampai di persawahan yang mereka inginkan.
Terjadilah pertentangan diantara mereka. Mbah Digdodjo membangun saluran air
untuk dialirkan ke selatan dengan mengambil air dari Tuk Tengah. Beliau
membelah bebatuan yang ada di dekat tuk untuk dapat menjadi saluran air.
Sedangkan Mbah Maladi berpendapat agar memanfaatkan saluran air yang sudah ada yang
mengalir ke arah timur. Karena Mbah Digdodjo tidak mau menerima pendapat Mbah
Maladi yang merasa lebih tua dan tetap membangun saluran air yang baru.
Perkelahian diantara mereka tidak dapat dihindari.
Mbah Digdodjo demi
rakyat – warganya terpaksa berani melawan
Mbah Maladi sebagai kakak. Mbah Digdodjo berkelahi melawan Mbah Maladi
hingga mengakibatkan tewasnya Mbah Maladi. Keadaan tewasnya Mbah Maladi
menjadikan Mbah Digdodjo merenung meratapi nasib dan peristiwa yang terjadi.
Perasaan bersalah yang berlebihan dan merasa berdosa menjadikan Mbah Digdodjo
tidak berpikir panjang, lalu menghabisi nyawa dengan tangannya sendiri.
Peristiwa ini menjadi nasehat bagi masyarakat Batang
untuk dapat mengambil makna bahwa saling mempertahankan ide dan keras kepala
tidak menyelesaikan masaalah, akan tetapi menambah masalah baru. Selain itu
membawa dampak hubungan yang tidak baik
bagi warga Selojari dan Batang. Sampai sekarang Orang Selojari tidak boleh
menjalin hubungan tali pernikahan dengan
orang Batang, begitu pula sebaliknya.
Hal
ini ditanggapi oleh Habib M. Ashari Adzomat Khon pada November 2016,
bahwa....”Pada zaman Syekh Husni dulu
sebetulnya hubungan antara masyarakat Batang dengan Selojari sangat intim, baik
pertanian, keagamaan dan lain – lain “.
Pada masa penjajahan Belanda di
Indonesia, Belanda merasa kawatair kalah, karena Syekh Husni itu ulama besar.
Belanda merasa kalau umat Syekh Husni dai Batang dan Selojari bersatu, maka
akan dapat mengusir Belanda. Akhirnya Belanda mengatur strategi agar orang
Batang dan Selojari tidak boleh ada hubungan pernikahan. Sesungguhnya secara
syari’at agama Islam pernikahan antara warga Batang dengan Selojari tidak apa –
apa. Trik Belanda yang sebenarnya untuk memecah belah warga Selojari dengan
Batang ternyata masih diyakini sampai sekarang.
B.
Sejarah
Setelah Tahun 2016 (November 2016)
Siapakah sebenarnya Mbah Digdojo dan Mbah Maladi itu ?.
Para ulama Dusun Batang mulai bertanya – tanya tentang identifikasi kedua tokoh tersebut. Mereka mulai melakukan
penelusuran.
Pada mulanya Haul Mbah Digdojo dan Mbah Maladi diadakan setiap tanggal 1
Muharam. Pada tahun 2000 haul ini sempat menjadi pembahasan, tentang “nasab”
dan perjuangan Mbah Dogdojo dan Mbah Maladi oleh sebagian warga masyarakat
Batang. Kemudian hal tersebut menjadikan bimbang dan ragu dengan keadaan yang
sebenarnya. Siapakah Mbah Digdojo dan Siapakah Mbah Maladi itu ?
Pada tanggal 7 Agustus 2016 sebagian tokoh masyarakat
dusun Batang yaitu Kepala Dusun (Kadus) Sriyanto (Ali Musyafa’), Ustad M.
Zainuddin, Ustad Masyrukin, Sarmin, Muhammad Anoq Safi’i, dan kawan – kawan,
mencari tahu tentang kebenaran tokoh pendahulu desa tersebut. Mereka melalui Ustad Imam Baidhowi dari Desa
Kramat Penawangan untuk diajak sowan kepada Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon di
Desa Karangwuni Kecamatan Weru Sukoharjo.
Pada saat itu Habib M. Ashari berkata, Bahwa wafatnya
Mbah Digdojo (Syekh Husni) adalah
tanggal 11 Muharam bukan tanggal 1
Muharam, maka mulai tahun 2016 Haul Mbah Digdojo (Syekh Husni) diadakan setiap
tanggal 11 Muharam.
Pada hari Jum’at
Pahing tanggal 23 Desember 2016, Batu Kijing diganti dengan Patok Kayu, dan
diberi nama Syekh Husni makam yang barat, dan Nyai Dewi Murbingah makam timur.
Dari hasil pengamatan Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon
tersebut terbukalah sejarah tentang
makam Mbah Digdodjo dan Mbah Maladi. Kedua makam itu ternyata bukan makam kakak
beradik, akan tetapi makam suami istri. Mereka itu adalah Syekh Muhammad Husni,
yang bergelar Haryo Bayu Permono Tani. Nama lain beliau adalah Ki Ageng Setro
Banyu. Ayahandanya bernama Haryo Bekti Ponco Tani. Makamnya ada di sebelah
barat (semula Mbah Digdodjo). Sedangkan makam yang di sebelah timur adalah
makam istri dari Ki Ageng Setro Banyu yang bernama Dewi Murbingah (semula Mbah
Maladi). Beliau merupakan keturunan dari Brawijaya V / Bhre Kerta Bhumi dari
kerajaan Majapahit.
Haryo Bekti Ponco Tani sebagai pengasuh Raden Patah dimasa
kecilnya. Pada saat Raden Patah menjadi raja di kerajaan Demak sekitar tahun
1500-an bergelar “Sultan Alam Akbar Al Fattah”, Syekh Muhammad Husni diberi
tugas untuk mencari sumber air dan mengatur pengairan untuk pertanian. Sambil
mengatur jalannya pengairan beliau juga melaksanakan siar Islam di wilayah di
mana beliau berada. Dari tugas beliau sebagai pengurus pengairan untuk
pertanian di sawah maka diberi gelar dengan “Haryo Bayu Permono Tani” . Dan
tugasnya sebagai penguasa dan pengatur jalannya air di sumber air ( dari tuk /
sendang), maka juga diberi gelar “Ki Ageng Setro Banyu”. Diceritakan, beliau
sebagai seorang yang sangat murah hati kepada semua rakyatnya dalam pencarian /
pengadaan air untuk pertanian maupun kepentingan rumah tangga. Bagi yang
membutuhkan air dikabulkan dengan syarat yang sangat mudah. Mereka diminta
“sesuci” (mandi taubat) dengan membaca “Japa Mantra yang ampuh”, yaitu membaca
dua Kalimat Syahadat tiga kali.
Tanpa disadari oleh mereka, ternyata mereka yang mandi
taubat secara otomatis sudah masuk Islam. Inilah salah satu cara dari belau
dalam menjalankan siar agama Islam. Warga tidak merasa terbebani karena mereka
mendapatkan air dengan mudah hanya mengucap Syahadat saja.
Ki Ageng Setro Banyu juga mendapat tugas sebagai Telik
Sandi (intelegen). Beliau bertugas sebagai intelgen untuk mengawasi jalannya
lalulintas transportasi aliran sungai Serang. Kala itu sungai serang menjadi
sarana transportasi air untuk menuju ke pedalaman dari kerajaan Demak. Para
pedagang asing (Portugis, China) dimungkinkan sudah sampai di wilayah Sragen,
Boyolali dengan melalui sungai serang. Karena tugas beliau ini, maka diberi
diberi gelar dengan “Adi Pati Telik Sandi”.
Terjadinya konflik politik di kerajaan Demak, yaitu
perebutan kekuasaan antara keturunan Sultan Trenggono dengan Arya Penangsang,
maka Syekh Muhammad Husni, meninggalkan keramaian di kerajan Demak menuju ke
dusun Batang desa Taruman. Beliau mulai menetap di Batang Taruman ini pada
bulan Shafar, hari Ahad wage. Secara kebetulan menemukan mata air pada hari
Ahad Wage, dan lahirnya beliau juga hari Ahad Wage.
C.
Sejarah
Perjuangan Demang Haryo Bekti Ponco Matani.
Lebih
lanjut dituturkan oleh Habib Muhammad Ashari Adzomat Khon, sebagai berikut :
1. Keberadaan Masa Akhir Kerajaan Majapahit
Mungkin tidak banyak yang
mengenal wali ini, wali yang laur biasa hebat. Wali yang sempat dijadikan
sebagai target pembunuhan tentara Portugis. Wali yang menjadi penyangga utama
hasil bumi kerajaan Demak. Wali yang setiap kehadirannya paling ditunggu oleh
seluruh lapisan masyarakat Jawa, tanpa terkecuali. Beliau adalah Adipati Haryo
Bayu Permono Tani, yang dalam pergerakan Wali Songo disebut sebagai Syekh
Husni. Ketika diusia 40 th bergelar Ki Ageng Setro Banyu. Makam beliau ada di dusun
Batang desa Taruman kec. Kl;ambu Kab. Grobogan.
Sejak
usia dini Raden Patah sebagai putra dalem Gusti Brawijaya V raja Majapahit,
tentu hidup dalam pengawasan yang ketat. Apalagi pada pertengahan abad ke-14 M,
situasi di wilayah kerajaan Majapahit sudah terjadi banyak kekisruhan. Beberapa
tokoh penting yang terbilang memiliki pengaruh di Jawa, tiba – tiba mengadakan
gerakan yang intinya ingin menggulingkan kerajaan Majapahit.
Kerajaan Majapahit
masih kuat, karena masih memiliki ratusan ribu prajurit yang setia kepada sang
raja. Walaupun demikian, tetap saja keselamatan keluarga raja adalah hal yang
paling penting di mata prajuritnya. Demikian pula keselamatan Raden patah.
Beliau putra Dewi Chempo (Putri Nduworo Wati), yang dinikahi oleh Brawijaya V.
Ini menjadi tonggak keislaman sang Raja pada masa hidupnya.
Brawijaya V (Bhre
Kertha Bhumi atau Sri Kertha Bhumi). Beliau memiliki beberapa pengikut setia
yang menjadi garda terdepan untuk keselamatannya (sejenis PASPAMPRES). Petugas
ini siap menjadi tumbal keselamatan pemimpin (raja), dengan ikrar “Lebih Baik
Mati Asal Rajanya Tetap Hidup”.
Kesetiaan dan
pengabdian tertinggi dilakukan oleh Demang Haryo Bakti Ponco Matani yang
mendapat tugas dari Sang Brawijaya V untuk menjaga keselamatan Raden Patah dan
Dewi Champa. Tugas menjaga keselamatan
dan mengawal ini beliau emban sejak Raden Patah masih kecil sampai
dewasa. Pengawalan utama ini beliau laksanakan hingga munculnya serangan
terhadap Majapahit dari Girindrawardhana di kediri, ditandai dengan candra
sengkala “Sirna Ilang Kerthaning Bhumi”. Candra sengkala ini diambil dari tahun
Saka, yang artinya yaitu Sirna : 0, Ilang : 0, Kertha : 4, dan Bhumi
: 1. Membacanya dengan cara dibalik menjadi 1400 saka, jika dijadikan
tahun Masehi menjadi 1478 M.
Dengan serangan ini
runtuhlah benteng kekuatan kerajaan Majapahit. Di berbagai wilayah kerajaan
bawahan Majapahit masih terjadi perang hebat, yang saling berebut kekuasaan untuk menjadi pemimpin wilayah.
Pada
masa itu raja dan keluarganya diungsikan ke luar dari istana. Para pengacau
Majapahit bertekad akan menghabisi Sang raja beserta keluarganya. Peristiwa ini
sering disebut dengan “ Babat Purno
Tunggak “ (Habis semua keluarga raja tanpa terkecuali).
2. Perjuangan Demang Haryo Bekti Ponco
Matani dan Keluarganya.
Demang
Haryo Bekti Ponco Matani harus semakin ekstra mengawal Raden Patah. Suatu
ketika gerakan aksi pembunuhan putra raja terus dilakukan, dan berusaha mencari
dimana keberadaan putra raja tinggal. Musuh mempersiapkan strategi untuk
mencari dan membunuh putra raja. Dibangun beberapa perkampungan yang sekilas
ditengarai setia kepada Prabu Brawijaya V padahal hanya suatu jebakan.
Pada suatu hari
Demang Haryo Bekti Poncomatani memasuki salah satu perkampungan tersebut.
Sebelum memasuki wilayah tersebut sang
Demang dengan tampilan yang meyakinkan justru berdandan menyamar seperti Prabu
Brawijaya V. Raden Patah berpenampilan sebagai rakyat jelata.
Ketika memasuki salah
satu perkampungan yang dijadikan jebakan oleh musuh, sang Demang tidak mengira sama sekali jika kampung itu
adalah kampung musuh. Perkampungan itu disetting seperti perkampungan yang
dihuni oleh sebagian besar rakyat miskin. Mereka tampil lugu dan pura – pura
tidak tahu soal kerajaan. Mereka terlihat sebagai penganut ajaran “Kapitayan”
(Kepercayaan) yang setia. Walaupun demikian Ki Demang tetap waspada. Hingga suatu malam beliau
memiliki firasat tidak baik. Dengan menggenggam tongkat yang selalu ada di tangannya, beliau keluar
rumah secara mengendap –ngendap. Ternyata para pimpinan pengkianat negara
sedang bertemu untuk menyusun strategi pembunuhan terhadap Ki Demang yang
dianggap sebagai Brawijaya V. Ketika itu
juga prajurit musuh sudah mengepung perkampungan itu dengan senjata lengkap.
Demang Haryo Bekti
Poncomatani segera mengambil tindakan /
strategi bersama pasukannya. Pasukan dibagi menjadi 3 bagian. Bagian pertama
tetap bersamanya tidur di kamar. Bagian kedua mengacau, membuka salah satu
akses pengepungan untuk mengecohkan musuh, agar Raden Patah bisa selamat dari
kepungan dan kejaran musuh. Bagian ketiga ikut mendampingi sekaligus mengawal
Raden Patah keluar dari mala petaka.
Karena saat itu Raden
Patah telah mendapat mandat dari Wali Songo untuk menduduki kerajaan Demak.
Jabatan ini telah dipersiapkan Wali songo dan para kaum muslim di Jawa.
Pasukan bagian kedua
telah berhasil mengecoh prajurit musuh yang bertugas menjaga akses keluar
kampung. Akhirnya Raden Patah berhasil keluar dari perkampungan didampingi
pasukan bagian ketiga.
Demang
Haryo Bekti Poncomatani sengaja tetap tinggal di dalam rumah bersama pasukan
bagian pertama. Hal ini dilakukan, dengan pertimbangan, jika akhirnya beliau ikut berlari keluar
kampung tentu akan terjadi pengejaran. Hal ini akan memperumit keselamatan
calon raja Demak (Raden Patah).
Rumah
yang dijadikan peristirahatan Ki Demang (yang menyamar sebagai Brawijaya V)
dikepung pasukan musuh. Perang dahsat tidak terelakkan. Pasukan bagian kedua
kembali merapat ke rumah peristirahatan Ki Demang dengan niat ikut perang
melawan musuh. Demi keselamatan para prajurit, Ki Demang menghentikan
perlawanan. Ki Demang meminta kepada musuh agar prajurit lainnya jangan
dibunuh. Kondisi kekuatan musuh sebenarnya kuwalahan menghadapi pasukan Ki
Demang, mereka sudah ada yang terbunuh, sedangkan pasukan Ki Demang masih utuh.
Pertimbangan lain diantara pasukan Ki Demang terdapat prajurit yang usianya baru remaja belasan tahun.
Mendengar ucapan
sosok Brawijaya V ini ditanggapi baik oleh musuh, memang kesaktian beliau
terkenal luar biasa. Mereka tidak mengira yang dikepung itu sebenarnya bukan
Brawijaya V asli, tetapi pasukannya (Ki Demang). Terjadi perundingan antara Ki Demang yang
menyamar Brawijaya V dengan salah satu tokoh dari musuh. Sosok Brawijaya V siap
menyerahkan diri dan pasukannya tidak nboleh dibunuh. Pihak musuh menerima
tawaran dari sosok Brawijaya V, dengan dua syarat : Pertama Sosok Brawijaya V
harus melepaskan kesaktiannya agar bisa dipenggal kepalanya. Yang kedua
pasukannya harus melihat pemenggalan tersebut. Jika disepakai, pasukannya diberi
kebebasan hidup.
Musuh menyangka jika
seorang raja mati maka akan tamatlah seluruh kekuatannya. Ki Demang menerima tawaran musuh, dan meminta
pemenggalan dilakukan sebelum matahari terbit.
Tibalah
waktu fajar sebelum diekskusi Ki Demang yang disangka Brawijaya V meminta waktu
bersama pasukannya mengadakan ritual. Dengan berat hati dan penuh pertimbangan,
pimpinan pasukan musuh akhirnya mengijinkannya. Ritual yang dimaksud adalah
Sholat Subuh. Setelah sholat subuh selesai satu persatu passukannya memeluk Ki
Demang, begitu pula seorang pasukan yang usianya belasan tahun. Dia hampir
tidak mau melepaskan pelukannya terhadap Ki Demang. Dia itu adalah putra Ki
Demang sendiri yang bernama Haryo Bayu Permono Tani. Air matanya berlinang
setelah Ki Demang Haryo Bekti Poncomatani membisikkan kata- kata di telinganya
dan berwasiat : “ Le....., anakku Permono Tani,...... hidup pasti mati,
kematian ini adalah kodrat. Lepaskan lepaskan bapak. Bapak meninggal demi
negerimu, demi rajamu, demi pemimpin Islam yang akan menyatukan seluruh rakyat
Jawa. Lepas Le........ Ini tongkat dari bapak nanti dibawa. Temui ibumu di istana Demak Bintoro. Sampaikan padanya
Bapak menunggu dia di surga “. Permono Tani masih belum mau melepaskan
pelukannya, lebih lanjut Ki Demang berkata : “ Le anakku.... lepas le....,
sikapmu membahayakan dirimu dan pasukan lainnya. Beridirlah dengan gagah.
Sesungguhnya yang membunuh bapakmu bukan musuh, tapi Allah. Allah menghendaki
bapakmu bertemu dengan-Nya. Ojo nangis Le.... Jadilah ksatria yang tangguh.
Jadilah anak siap hidup demi kebenaran. Dan siap mati karena kebenaran. Bapak
tunggu kamu dan ibumu di surga. Ingat itu Le.... Permonotani dengan berat hati
akhirnya melepaskan pelukanya.
Dengan posisi tubuh
bersujud menghadap kiblat Ki Demang bersiap diri di hadapan ekskusi. Algojo
menebaskan pedagnya persis di leher beliau. Allahu Akbar, Allahu Akbar, Allahu
Akbar...... begitu teriakan para pasukan di saat ekskusi terhadap Ki Demang.
Permonotani tubuhnya gemetar, seakan tidak rela melihat kematian ayahandanya.
Hatinya menjerit dan terluka. Haryo Bayu Permonotani tetap tangguh. Dia tetap
bersabar di jalan Allah.
D.
Sejarah
Perjuangan Ki Ageng Setro Banyu (Haryo Bayu Permono Tani)
1. Haryo Bayu Permono Tani Sebagai Adipati
Taruno Mudo
Beliau putra tunggal dari Demang Haryo Bekti
Poncomatani. Anak yang baru berusia belasan tahun ini, dengan sangat terpaksa
harus melihat kepala ayahnya dipancung oleh penjagal. Tubuh ayahnya roboh tanpa
kepala.
Dia tidak boleh menyerah. Sebagaimana wasiat
ayahnya sebelum menemui ajalnya. Sang Bayu Permono Tani diutus agar meneruskan
perjuangannya. Dengan segenap jiwa raganya, ia diperintah untuk mengabdi pada
negara. Negara kerajaan Demak Bintara berdaulat pada Raden Patah sebagai Maha
Rajanya.
Setelah aksi pemancungan usai, sesuai
kesepakatan, mereka menuju kerajaan Demak Bintoro untuk menemui Sang Raja.
Sesampainya di pelataran pintu gerbang kerajaan Demak, dengan tertatih-tatih
Bayu Permono Tani berusaha untuk tetap tegar, berjiwa ksatria. Dia menemui
Raden Patah. Mereka bertemu dengan Raden Patah di ruang Pasamuhan Agung.
Sebelum meminta informasi dari Bayu Permono Tani, Raden Patah memanggil ibunya Bayu Permono untuk hadir di ruang
Pasamuhan Agung.
Pada saat ibunya duduk di Pasamuhan Agung,
sang raja bertanya kepada Bayu Permono
Tani tentang keberadaan sang ayah yaitu
Demang Haryo Bekti Ponco Matani. Sebelum menjawab, Sang Bayu dengan langkah
timpuh menyerahkan dua benda yang dibawanya kepada Raden Patah. Benda yang
pertama adalah tongkat peninggalan mendiang ayahnya. Benda yang kedua berupa
benda yang dibungkus dengan baju terakhir mendiang sang ayah. Ketika
dibuka Sang Raja, isi bungkusan itu
adalah kepala ayahnya sendiri yang dipenggal pada saat ekskusi.
Sontak ibunya Bayu teriak histeris..kemudian tidak
sadarkan diri dan digotong oleh para pambayun ke ruang peristirahatan.
Sang raja
meneteskan air mata, dan semua yang berada di dalam ruang Pasamuhan merasakan
duku cita yang mendalam. Raden Patah bertanya, wasiat terakhir apakah yang
disampaikan ayahnya kepada sang Bayu. Dengan tegar dia menjawab ; pertama,
Ayahnya memberikan amanat kepadanya agar dia mengabdi kepada Sang Raja Sultan
Demak Bintara. Pada saat itu juga Raden Patah mengangkat Haryo Bayu Permono
Tani sebagai Adipati termuda dalam
sepanjang sejarah kerajaan kerajaan Demak Bintara. Gelar yang diberikan sang
raja adalah “Adipati Taruno Mudo”.
Pada saat itu Sang Bayu baru berusia 18 tahun.
2. Haryo Bayu Permono Tani Kehilangan
Ibundanya
Raden Patah lalu menanyakan tentang Wasiat
yang kedua, Bayu Permono berkata, bahwa wasiat yang kedua bukan untuk sang
raja, akan tetapi untuk ibunya. Raden patah menyuruh punggawa untuk melihat
kondisi ibunya Bayu. Dia masih tidak sadarkan diri. Akhirnya Bayu menghaturkan
wasiat yang kedua kepada sang Raja, sebelum ayahnya dipancung, ayahnya menitip
pesan untuk disampaikan kepada sang ibu, bahwa ayahnya menunggu ibunya di
surga.
Pecahlah
tangis Bayu Permono Tani. Tiba – tiba salah satu pambayun menghadap sang raja.
Dia melaporkan bahwa Nyi Ageng Demang Haryo Ponco Matani (ibunda Bayu) sudah
pulang ke Rofiqil’Ala. Ibunya terkena serangan jantung dan meninggal dunia,
karena mendengar dan melihat keberadaan suaminya yang wafat dengan dipenggal
kepalanya oleh musuh.
Lengkaplah
sudah kesedian Bayu. Setelah melihat peristiwa tragis pemenggalan kepala sang
ayah, saat itu pula harus kehilangan ibunda tercintanya.
Berjuang & Mengabdi Seumur Hidup
BalasHapusSemangat palk guru.....!!!